Sehelai Surat Kelam - cerpen Sahabat
Sehelai Surat
Kelam
Silau.
Sinar itu begitu terang, menelusup ke dalam
kamar tidurku, menerobos masuk. Mataku
mengerjap, berusaha membuka walau hanya sebelah. Sesosok bayang hitam berbalik
kearahku. Sepertinya ia telah sadar bahwa aku terbangun dan terganggu karnanya.
“ Ema, udah jam berapa ini? ayo
bangun! udah sholat?” pertanyaannya berbaris rapi menunggu jawabanku, bukannya minta maaf, eh nyuruh bangun lagi! Batinku.
Aku sudah tak asing lagi dengan gaya bicara dan rutinitasnya membangunkanku
setiap pagi selama ia menginap di rumahku saat jadwal liburnya dari salah satu Pondok
Pesantren di Balikpapan ini, mengingatkanku sholat shubuh dan banyak lagi. Ia
begitu memperlakukanku seperti anak kecil. Entah. Apa karna Ia senang
mendikteku atau senang membiarkan lukisan hitam di kantung mataku.
“ Sar, kamu tau kan semalam aku
tidur jam berapa?” tanyaku sedikit sinis.
“ Ya, aku tau. Tapi kamu harus tetap
bangun Ma, kamu belum sholat.” Ia menoleh dan menatapku prihatin.Lagi-lagi itu
alasannya membangunkanku. Tak perduli aku sedang letih, pusing, atau ketika
sedang sibuk menyelesaikan tugas HTML-ku yang menumpuk ini.
“ Bentar nah Sar, Bentaaaaaaaaaaar
lagi, yah? Ntar aku nggak khusyu’ lagi sholatnya.” aku mengiba.Seperti biasa, dengan seribu
alasan untuk menambah barang sejam tidurku dan menyambung “mimpi indahku”
–mustahil-. Ia mentapku dengan tatapan
sendunya, dan menghilang dari balik pintu kamarku. Yeahhhh! Akhirnya alasanku
yang kuulang kesekian kali berhasil kembali. Itulah Sarah, walau ia kuat
berdebat denganku, tapi ia lemah melihat dusta dimataku karna aku tak mungkin
sholat seperti yang ia kira, aku lebih memilih meraih Ipod-ku dan mendengarkan
lagu-lagu terbaru Justin Bieber. Tapi ketika ia menayakan perihal sholatku, aku
akan menjawab dengan “pede” bahwa aku telah tuntas mendirikannya. Kini ia hanya
tersenyum kecil dan memang itulah yang selalu ia berikan saat mendengar aku
tlah sholat. Hanya senyum kecil.
5
tahun silam
“ Sar, kamu beneran masuk Pondok?”
tanyaku pada sepupuku, Sarah. Anak sulung dari Tante Lusi dan Paman Edo.
“ Ya, sepertinya begitu. Mamaku
sudah mengisi formulir dengan lengkap dan akan membawanya hari ini untuk
diserahkan kepada Pengurus Pondok.” Jawabannya sungguh mengiris. Mimiknya yang
super serius sekaligus murung membuatku ikut cemas akan perasaannya yang akan
berpisah dariku setelah 12 tahun bersama. Rumah kami memang tak jauh. Bahkan
nyaris tersambung.Kami sudah saling mengenal dari orok karna aku lahir 3 bulan
setelahnya.Dari Playgroup hingga SD kami selalu bersama. Kecuali SMP ini karna
Ia harus mengikuti apa kata Mama dan Papanya . Ia menunduk, sesekali mendongak
keatas untuk menahan air matanya yang menari-nari dan siap mengucur di pipi
merahnya.
“Pondok mana?”
“Hidayatullah.
Memang sih di Balikpapan, tapi…” kini air mata itu jatuh dan seketika deras.
Berkumpul di dagu lancipnya dan membasahi kaos oblongnya.
“Sudahlah, enak kok di Pondok.
Banyak temen tau!” Kataku berusaha menghiburnya. Padahal, jauh di lubuk hatiku
yang terdalam aku pun akan menolak dengan tegas jika aku ada diposisinya. Sarah
menyeka air matanya, dan memelukku seperti berat berpisah.
“Jangan lupa menjengukku ya?”
“Tentu!” seulas senyum terbit di
bibir manisnya. Sejujurnya, aku tak begitu sedih karna ini. Justru ada
kegembiraan tersendiri ketika ia tak lagi bersamaku. Aku akan dengan leluasa
mendekorasi kamar tidurku tanpa harus merasa tersaingi olehnya, aku bebas
mengoleksi poster-posterku tanpa harus merasa kalah lagi darinya karna ternyata
posterku sudah dimiliki banyak orang sedang ia dengan cerdasnya berhasil
mendapatkan poster-poster keluaran terbaru. Padahal, perekonomian keluargaku
lebih cukup darinya, dan aku juga akan bebas dari celotehan Ibuku yang kerap
kali membanding-bandingkan aku dan Sarah. Entah karna Ia rajin menyapu,mencuci
piring, rajin belajar, rajin menabung atau apalah itu. Aku tak perlu pusing
lagi sekarang dan siap merayakan moment ini. Ah, senangnya.
Dua hari setelah itu aku resmi masuk
salah satu SMP negeri sedangkan Sarah benar-benar pergi dari hidupku walau
hanya sementara. Aku mencoba memperlihatkan betapa sedihnya aku karnanya.
“ Jaga dirimu baik-baik ya Sar?”
kataku sambil merengkuh pundaknya menuju sedan hitam yang akan membawanya
melesat jauh dariku.
“Percaya padaku..” Hanya itu yang ia jawab
setelah menatapku dalam dan masuk ke “kereta kencana”nya. Kulambaikan tanganku
membentuk 900 dan cukup menggerakkan kelima jariku.
Setelah peristiwa menyedihkan itu
berlalu, ternyata aku tak kunjung tenang karna kepergiannya. Justru kecemasanku
berlipat kembali karna ternyata keluarga besarku kian heboh dengan
prestasi-prestasi Sarah selama di Pondoknya. Terutama karna ia telah sukses
menghafalkan 2 juz dalam kurun waktu yang sangat singkat. Aku cemburu berat.
Lagi-lagi Mama membanding-bandingkan aku dengan Sarah yang katanya Sholehah
itu. Mama juga protes padaku karna aku melanggar janjiku untuk segera berjilbab
setelah baligh. Nyatanya sudah satu
setengah tahun lamanya perjanjianku itu belum kutepati. Mama kian mengekangku
dan aku benci itu.
“ Kapan nih?”
“….”
Aku hanya
diam.Berpura-pura seperti tak mendengar yang baru saja dikatakan Mama.
“ Mama ngerti. Ema emang berat
berjilbab, karna belum terbiasa. Nah, untuk biasa itu Ema mesti nyoba. Ema mau
yah?” Mama membujukku sedemikian rupa. Namun hatiku sama sekali tak tergerak
olehnya. Aku tak rela jika rambut hitam panjangku harus tertutup, belum lagi
kubayangkan betapa panasnya itu. Huft… Belum selesai aku menghayal, datang Bibi
tergopoh-gopoh membawa sesuatu ke arahku.
“ Non, ada surat non, surat dari
Mbak Sarah.” Bibi gembira. Tapi tidak denganku. Secepat mungkin kubuka surat
itu. Kemudian membacanya perlahan.
Balikpapan, 12 Okotber 2012
Dear :
Ema Syam
Assalamu’alaikum… J
Apa kabar Ema?. Ana harap Anti
baik-baik aja. Ema, ana mau cerita dikit
ttg pengalaman yang ternyata gak seburuk yang ana bayangin dulu. Ternyata bener kata Anti, disini seruuuuuu…buanget!!! Banyak teman dan banyak kegiatan yang bermanfaat sekaligus menantang. Ah, rasanya sedih banget Anti gak ada disini. L
Oh iya, terlebih lagi, disni kita belajar bahasa
Arab
dan bahasa Inggris secara rutin. Karna harus dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, skarang di Asrama kita pake 2 bahasa itu deh. Ya, kadang sedih kalau salah dan mesti dapat hukuman. Tapi, senangnya karna itu yang buat ana lebih lancar berbahasa asing.
Tau gak?. Osis disini kocaaaakk banget! Pas kita
Ospek
aja kita disuruh ngejalanin tes yang banyaak dan seru. Kita juga dapat nama hijrah loh. Nama hijrah itu nama Pondok kita. Nama pondok ana bagus loh, Namanya Athiyyah. Cantik kan?. Kalo Anti kesini, ana janji deh, Ana cariin nama bagus buat Anti. Ok!
So, udah dulu ya?. Jangan lupa balas suratku.
See you next time :* Your Friend, Sarah _Athiyyah
Okey, kali ini jelas bagiku, kondisiku
semakin terpuruk dan siap tersungkur.
Akh, aku tak mau kalah lagi. Tapi dia semakin lebih dariku dan banyak yang ia ketahui tanpa aku mengetahuinya sama sekali. padahal aku sekolah di SMP negeri yang bertaraf Internasional dan tentunya terfavorit Se-Balikpapan. Apa tadi? Ana, Anti, Bahasa Arab & Inggris jadi bahasa sehari-hari? Nama Hijrah?. Semuanya aku tak tahu dan itu boomerang bagiku yang telah tersetel dari detik ini. Mati aku!. |
Kuraih I-Pod-ku dan mem-play lagu Baby JB sekeras mungkin untuk
melupakan segala
hal yang membuatku makin gerah.
hal yang membuatku makin gerah.
Dan itu berjalan hingga
sekarang.Hingga lima tahun telah berlalu. Sarah rutin ke rumahku
setiap ia ada hari libur atau perpulangan. Aku telah kebal dengan segala sindiran Mama hingga aku
tak begitu ambil pusing mengenai kewajibanku berjilbab. Alhasil, aku belum berjilbab sampai sekarang setelah 6 tahun seharusnya aku telah berjlbab.
setiap ia ada hari libur atau perpulangan. Aku telah kebal dengan segala sindiran Mama hingga aku
tak begitu ambil pusing mengenai kewajibanku berjilbab. Alhasil, aku belum berjilbab sampai sekarang setelah 6 tahun seharusnya aku telah berjlbab.
“ Ema, ini ada Pamflet Ta’lim buat
kamu.” Sarah menyodorkan sehelai Pamflet penuh warna namun aku tak berminat
membacaya.
“Terus?” jawabku ketus.
“ Mungkin kamu mau baca lalu datang.
Kebetulan aku salah satu Panitianya. Yang ngisi Ta’limnya juga Ustadz dari
Ponpesku.Ya, aku pikir mungkin……itu bermanfaat buat kamu.”
Sarah kembali
menyodorkan Pamflet itu agar lebih dekat ke sofa tempatku duduk. Namun aku tak
bergeming. Tetap diam layaknya patung. Sedetik berlalu, Ia menatapku lalu
beranjak pergi karna ia tau aku, aku yang tipikal gengsian dan tak pernah mau
kalah. Dan aku takkan pernah rela ia memprotesku.
Manusia yang bergerak didalam layar
yang sedang kutonton sungguh membosankan. Aku memilih hendak beranjak untuk
kembali ke kamar dan mendengarkan musik andalanku. Tapi…..
Kulirik kembali
Pamflet tadi yang sebenarnya cukup menarik perhatianku. Kuamati sejenak dan…..
entah mengapa aku ingin segera datang untuk mengatasi penasaranku tentang
….apa? apa tadi dia bilang? Ta’lim? Akhh… aku sama sekali tak tau istilah
itu.tapi, mungkin aku akan segera tau jika aku mengalah barang sekali untuk
mengikuti saran Sarah.
Keesokan
harinya.
“Ema !!! subhanallah. Kamu datang?” Sarah
sungguh gembira melihatku datang walaupun aku agak risih berada diantara para
wanita berjilbab yang berbanding jauh denganku.
“Dan….. kamu ber…….jilbab!
Alhamdulillah!”
“Hanya kali ini saja, besok tidak.”
Seperti biasa, aku ketus padanya.
“Loh, kenapa?”
“Apa aku wajib menjawabnya?” jawabku
seraya berjalan masuk ke masjid tempat Ta’lim. Sementara Sarah, aku sudah tak
tau ekspresinya. Aku tak menoleh sama sekali bahkan ketika ia berbicara padaku.
Ta’lim yang kuhadiri untuk pertama
kali ternyata tidak buruk. Pesertanya kebanyakan remaja dan itu membuatku
nyaman.Terlebih,ustadz yang mengisi Ta’lim tersebut sangat kocak dan
berkali-kali membuatku terpingkal-pingkal namun tak bersuara karna di
sekitarkupun sebenarnya tergelak namun mereka menahannya hingga yang terdengar
mungkin cekikikanku dan beberapa remaja awam yang tak kuasa menahan tawa.
Ta’lim telah berakhir namun aku
terus tersenyum mengingat kejadian sekitar dua jam lalu yang sungguh
mengesankanku. Apa ini yang selalu dirasakan Sarah? Apa ini yang ia maksud
ukhuwah? Ah, mungkin langkah pertama untuk menjawab pertanyaanku adalah
mendekati Sarah. Huft, semoga aku bisa.
“ Ema?” jerit Sarah saat melihatku
dililit balutan mukenah putih pemberiannya.
“Sarah, aku nggak budek. Nggak usah
teriak-teriak dong!” kataku sambil tersenyum padanya.
“ Ema, aku nggak…nggak…”
“Nggak percaya?” tanyaku cemberut.
“Oh, enggak. Aku cuma… kaget aja.
Ini baru jam 5subuh dan kamu udah bangun bahkan… sholat!”
“Biasa aja kali Sar, Oh ya, kenapa
ke kamarku jam segini? biasanya kamu bangunin aku jam 6 kurang.” Aku tak perlu
sulit-sulit mendekati Sarah, karna ternyata aku bangun lebih awal sudah
membuatnya seperti baru aja dapat hadiah undian.
“Oh, aku mau pamit dulu, ternyata
Ta’lim kemarin sekaligus nguji para panitia siapa saja yang siap dikirim ke
ladang dakwah di pelosok desa. Dan, aku termasuk dan akan dijemput jam 6
nanti.”
“Oh, kemana?” aku berusaha setenang
mungkin untuk menagatasi kepanikanku karna akan kehilangan kesempatan untuk
mendekati Sarah dan mengikuti rutinitasnya. Aku takut kalau-kalau nanti tak
bisa Ta’lim lagi seperti kemrin karna tak tau informasi setelah tak ada Sarah.
“ Ke Suriname. Ya , tapi yang
pelosoknya.”
“Suriname? Benua Amerika?”
“Ya, tapi pelosoknya.” Ia santai
saja mengatakan sesuatu yang sungguh membuatku ternganga.
“Lalu sekolahmu?”
“Di sana ada cabang pesantrenku dan
pengajarnya pun berbahasa Indonesia. Dan tidak sulit untuk berdakwah di sana
karna ternyata penduduknya berbahasa Jawa halus. Aku pun baru tau itu setelah
tadi malam rapat dengan pimpinan Pondok.”
“ Ya ampun..” aku sungguh tak
percaya sebegitu hebatnya Sarah hingga bisa terlempar ke Suriname di Benua
Amerika.
“ Kenapa? Mendadak ya? kamu gak bisa
ikut nganter ya?”
“Oh, nggak. Ya udah sebentar aku
ganti baju dulu lalu turun kebawah”
“ Ya, cepat ya! Mama,Papaku udah
nunggu buat ngantar ke Bandara Sepinggan.”
“Ok.” Astaga, aku nggak mimpi kan? Batinku.
Sarah berjalan tenang menyusuri lantai
kotak Bandara, sementara aku? Hatiku bergemuruh seakan takut berpisah dengan
Sarah. Aku takut ia tak menyemangatiku lagi untuk ikut Ta’lim dan Sholat.Tapi,
entah mengapa bukan hanya itu yang kutakuti. Ada sesuatu yang membuatku kian
sedih berpisah dengan Sarah. Dan ini mungkin untuk pertama kalinya.
“ Sarah, kapan kamu balik?” tanyaku
seraya berusaha menyelaraskan langkahku dengannya.
“ Mungkin 3 tahun lagi.”
“Em, ada waktu pulang?”
“ Ya, sekarang kan tahun 2014.
Mungkin tahun depan aku pulang dan mungkin setahun sekali. Aku harap kita gak
putus komunikasi.” Ia berhenti berjalan lalu menghadap ke arahku, menatapku
dalam-dalam. Dan tersenyum. Sementara Keluarga besar kami yang ikut mengantar
masih tertinggal jauh di belakang. Aku tersenyum membalasnya.
“ Kesungguhan.” Sarah mengucapkannya
dengan pelan.Namun aku masih bisa mendengarnya dengan jelas.
“Kenapa?” tanyaku padanya karna aku
tak tau maksudnya mengucapkan “Kesungguhan”.
Ting
tong, kepada penumpang yang akan menuju Bandara Soekarno Hatta,keberangkatan
akan segera dilakukan. Mohon kepada peumpang untuk segera bersiap-siap.
“Ah, aku harus segera berangkat.”
Sarah berpamitan dan memeluk kami satu-persatu dan segera masuk ke Bandara
diikuti Mama Papanya. Aku hanya mempu melihatnya dari ruang kaca. Tak terasa
ternyata air mataku telah mengalir dengan derasnya. Perasaanku tak terarah.aku
menagis?untuk Sarah? Hebat!.
Aku pulang dan berusaha menetralisir
perasaanku. Baru kuingat bahwa aku harus mengerjakan PR Fisikaku. Dan aku
menemukan sehelai kertas yang terselip dalam buku Fisika itu. kubuka perlahan
dan mulai meneliti setiap hurufnya.
Balikpapan, 12 November 2013
Dear :
Ema Syam
Assalamu’alaikum…
Ema, aku takkan bertanya mengenai kabarmu. Karna aku tau kau senang karna aku tak lagi ada dalam hidupmu sejak aku masuk pondok. Aku juga takkan bertanya mengapa dulu kamu pura-pura sedih karna aku pergi karna aku tau kau tak sungguh2 sedih. Aku tau Ema, kau merasa tersaingi olehku. Tapi aku tak punya niat untuk mengalahkanmu. Aku bahkan berusaha membuatmu lebih baik dari aku. Aku sudah berjanji aku akan terus mengingatkanmu sholat. Tapi, aku tau ema, sedari dulu setiap aku mengingatkanmu sholat, kau tak pernah sholat. Walau kau bilang kau telah tuntas mendirikannya. Aku sedih Ema, kau mendustaiku. Aku tak pernah menabu gendang perang padamu bahkan dari kita masih kecil.Tapi kau selalu menganggapku musuh.
Kini,
aku sudah menyerah. Namun aku tau, ada saatnya kau bisa berubah tanpa aku.
Aku pergi dulu ya Ema, jaga dirimu baik-baik. Aku harap kepergianku bisa
mengatasi kegerahanmu atas kehadiranku. Aku bersyukur mendapatkan
kesempatan masuk pondok. Agar hidupmu terasa lebih ringan.
|
Ema,
kalau kau membutuhkan teman yang baik (insyaAllah), hubungi saja
teman-teman Pondokku.
Vita :
081 251 562 425
Raras :
084 542 656 322
Mungkin
itu Ema, yang ingin kusampaikan sebelum aku SMA.
Your Friend,
|
Sarah_Athiyya
Dan, itu surat yang ia berikan padaku yang ternyata sudah lama. Namun, aku membacanya sekarang. Ya Ampuuun!! Apa yang terjadi? Dia tau? Dia…..OMG! dari kapan dia tau? Dari dulu?. Pikiranku kalut. Hatiku seperti bergetar, Mengapa ini semua terjadi saat aku mulai menyayangi Sarah. Mengapa semua terjadi begitu mencengangkan? Apa karma tlah tiba? Ya Allah. Kumohon jangan dulu,jangan dulu kau biarkan Sarah berhenti menjadi teman yang baik buatku.
Dan, itu surat yang ia berikan padaku yang ternyata sudah lama. Namun, aku membacanya sekarang. Ya Ampuuun!! Apa yang terjadi? Dia tau? Dia…..OMG! dari kapan dia tau? Dari dulu?. Pikiranku kalut. Hatiku seperti bergetar, Mengapa ini semua terjadi saat aku mulai menyayangi Sarah. Mengapa semua terjadi begitu mencengangkan? Apa karma tlah tiba? Ya Allah. Kumohon jangan dulu,jangan dulu kau biarkan Sarah berhenti menjadi teman yang baik buatku.
Tanganku bergetar.serupa dengan
hatiku yang kian kelabu. Surat yang Nampak tua dan sobek itu benar-benar
menyayat dadaku. Menyesakkan rongga dadaku.Air mata telah lama meluncur
dipipiku dan sisanya tersumbat di dadaku dan membuatku kian sesak. Apa yang
sekarang harus kulakukan? Menghubunginya? Ah, bodoh! Dia baru saja pergi dan
aku akan mengacaukan kegiatan dakwahnya lagi. Sesegera mugkin kuraih
Handphoneku dan menghubungi Vita dan Raras sekaligus.
Semenjak itulah. Aku rutin
menggantikan posisi Sarah di Ta’lim ini. Aku tak ingin membuang waktu untuk
terus larut dalam “dunia gaul” yang ternyata banyak menyesatkanku. Kini aku
tlah berjilbab dan menjadi anggota Rohis SMA-ku.
3 tahun kemudian.
Aku tlah lulus SMA dan kini tengah
menunggu kedatangan Sarah di Bandara. Setelah 3 tahun tak bertemu dengannya. Ia
tak bisa pulang tiap tahun seperti yang dulu ia katakana padaku. Ia semakin
menjadi aktivis dakwah sejati yang sangat di sayangi sekitarnya dan berat
melepas Sarah pulang ke Tanah Airnya. Namun, 15 menit lagi Sarah akan pulang.
Kuamati suratnya dan mengulang-ngulang kata “Kesungguhan” di bibirku. Sarah,
kini aku tau. Aku tau makna Kesungguhan itu. Terima kasih Sarah, kau beri aku
cara yang terindah untuk menjemput Hidayah-Nya. Aku telah tuntas Sarah,
menjalankan semua yang telah kau ulang-ulang ingatkan padaku. Sholat, Puasa,
Ta’lim, semua itu tak lagi asing bagiku. Kau begitu bahagia bukan ? saat aku
ternyata terlihat begitu sedih saat kepergianmu? Ya, itu memang sungguhan. Aku
tak dapat menyembunyikan rasa takutku akan kehilangan sahbat terbaik sepertimu.
Kini kau telah tegap di hadapanku.
Kau diam,lalu tersenyum. Seakan kau yang paling mengenalku. Kau slalu dapat
membaca mataku. Kau tau apa saja yang kian membuncah dalam dadaku untuk segera
kukatakan padamu. Baiklah, akan ku mulai percakapan ini.
“ Kau tau?”
“ Apa?” ia menjawabnya.
“ Suratmu telah kutemukan”
“ Surat? Kau membacanya? Untuk apa?”
Aku menangis sejadi-jadinya saat
kuputuskan untuk memeluknya. Ia memelukku dengan erat dan membuang surat yang
kugenggam.
“Ema, Kau telah berubah. Apa Kau
akan terus membaca Sehelai surat kelam?” Isak Sarah.
“ Berjanjilah kau akan terus
bersamaku.” Pintaku padanya.
“ Akan kugandeng Kau ke Suriname.”
Ema tersenyum, Begitupula aku.
teruskan berkarya..gak usa bertanya kenapa sih kok kamu gagal??!
BalasHapustapi katakan; "kamu terlihat gagal, tapi sesunggahnya kamu berhasil jadi teman baikku!! bagiku cukup